Wednesday 4 June 2014

Kafir tanpa sadar


Apa hukum Istihza atau Senda Gurau Perkara
Agama?
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman dalam
kitabNya:
ﻳَﺤْﺬَﺭُ ﺍﻟْﻤُﻨَﺎﻓِﻘُﻮﻥَ ﺃَﻥ ﺗُﻨَﺰَّﻝَ ﻋَﻠَﻴْﻬِﻢْ ﺳُﻮﺭَﺓٌ ﺗُﻨَﺒِّﺌُﻬُﻢ ﺑَﻤَﺎ ﻓِﻲ
ﻗُﻠُﻮﺑِﻬِﻢْ ﻗُﻞِ ﺍﺳْﺘَﻬْﺰِﺀُﻭﺍ ﺇِﻥَّ ﺍﻟﻠﻪَ ﻣُﺨْﺮِﺝُ ﻣَﺎﺗَﺤْﺬَﺭُﻭﻥَ
Orang-orang munafik itu takut akan diturunkan
terhadap mereka sesuatu surat yang
menerangkan apa yang tersembunyi di dalam hati
mereka. Katakanlah kepada mereka: "Teruskanlah
ejekan-ejekanmu (terhadap Allah dan RasulNya)".
Sesungguhnya Allah akan menyatakan apa yang
kamu takuti. [At Taubah:64].
ﻭَﻟَﺌِﻦ ﺳَﺄَﻟْﺘَﻬُﻢْ ﻟَﻴَﻘُﻮﻟُﻦَّ ﺇِﻧَّﻤَﺎ ﻛُﻨّﺎ ﻧَﺨُﻮﺽُ ﻭَﻧَﻠْﻌَﺐُ ﻗُﻞْ ﺃَﺑِﺎﻟﻠﻪِ
ﻭَﺀَﺍﻳَﺎﺗِﻪِ ﻭَﺭَﺳُﻮﻟِﻪِ ﻛُﻨﺘُﻢْ ﺗَﺴْﺘَﻬْﺰِﺀُﻭﻥَ
Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang
apa yang mereka lakukan itu), tentu mereka akan
menjawab: "Sesungguhnya kami hanya bersenda-
gurau dan bermain-main saja". Katakanlah:
"Apakah dengan Allah, ayat-ayatNya dan
RasulNya, kamu selalu berolok-olok?". [At
Taubah:65].
ﻻَﺗَﻌْﺘَﺬِﺭُﻭﺍ ﻗَﺪْ ﻛَﻔَﺮْﺗُﻢ ﺑَﻌْﺪَ ﺇِﻳﻤَﺎﻧِﻜُﻢْ ﺇِﻥ ﻧَّﻌْﻒُ ﻋَﻦ ﻃَﺎﺋِﻔَﺔٍ
ﻣِّﻨﻜُﻢْ ﻧُﻌَﺬِّﺏْ ﻃَﺎﺋِﻔَﺔً ﺑِﺄَﻧَّﻬُﻢْ ﻛَﺎﻧُﻮﺍ ﻣُﺠْﺮِﻣِﻴﻦَ
Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu kafir
sesudah beriman. Jika Kami mema'afkan
segolongan dari kamu (lantaran mereka taubat),
niscaya Kami akan mengadzab golongan (yang
lain) disebabkan mereka adalah orang-orang yang
selalu berbuat dosa. [At Taubah:66].
Ayat ini menjelaskan sikap orang-orang munafik
terhadap Allah, RasulNya dan kaum mukminin.
Kebencian yang selama ini mereka pendam,
terlahir dalam bentuk ejekan dan olok-olokan
terhadap Allah dan RasulNya.
Berkaitan dengan ayat ini, Ibnu
Katsir mencantumkan sebuah
riwayat dari Muhammad bin
Ka'ab Al Qurazhi dan lainnya
yang menjelaskan kepada kita
bentuk pelecehan dan olokan
mereka terhadap Allah, RasulNya
dan ayat-ayatNya.
Ia berkata: Seorang lelaki munafik mengatakan:
"Menurutku, para qari (pembaca) kita ini
hanyalah orang-orang yang paling rakus
makannya, paling dusta perkataannya dan paling
penakut di medan perang."
Sampailah berita tersebut kepada Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam, lalu orang munafik
itu menemui Beliau, sedangkan Beliau sudah
berada di atas ontanya bersiap-siap hendak
berangkat. Ia berkata: "Wahai, Rasulullah.
Sesungguhnya kami hanyalah bersenda gurau dan
bermain-main saja." Maka turunlah firman Allah.
ﺃَﺑِﺎﻟﻠﻪِ ﻭَﺀَﺍﻳَﺎﺗِﻪِ ﻭَﺭَﺳُﻮﻟِﻪِ ﻛُﻨﺘُﻢْ ﺗَﺴْﺘَﻬْﺰِﺀُﻭﻥَ
"Apakah dengan Allah, ayat-ayatNya dan
RasulNya kamu selalu berolok-olok?"
sesungguhnya kedua kakinya tersandung-
sandung batu, sedangkan Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam tidak menoleh kepadanya, dan ia
bergantung di tali pelana Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam.[1]
Ayat ini menjelaskan hukum memperolok-olok
Allah, RasulNya, ayat-ayatNya, agamaNya dan
syiar-syiar agama, yaitu hukumnya kafir.
Barangsiapa memperolok-olok RasulNya, berarti
ia telah memperolok-olok Allah. Barangsiapa
memperolok-olok ayat-ayatNya, berarti ia telah
memperolok-olok RasulNya. Barangsiapa
memperolok-olok salah satu daripadanya, berarti
ia memperolok-olok seluruhnya. Perbuatan yang
dilakukan oleh kaum munafikin itu adalah
memperolok-olok Rasul dan sahabat Beliau, lalu
turunlah ayat ini sebagai jawabannya.
Sikap memperolok-olok syi’ar agama
bertentangan dengan keimanan. Dua sikap ini,
dalam diri seseorang, tidak akan bisa bertemu.
Oleh karena itu, Allah menyebutkan bahwa
pengagungan terhadap syiar-syiar agama berasal
dari ketaqwaan hati. Allah berfirman.
ﺫَﻟِﻚَ ﻭَﻣَﻦ ﻳُﻌَﻈِّﻢْ ﺷَﻌَﺎﺋِﺮَ ﺍﻟﻠﻪِ ﻓَﺈِﻧَّﻬَﺎ ﻣِﻦ ﺗَﻘْﻮَﻯ ﺍﻟْﻘُﻠُﻮﺏِ
Dan barangsiapa mengagungkan syi'ar-syi'ar
Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari
ketaqwaan hati. [Al Hajj:32].
ISTIHZA', DAHULU DAN SEKARANG
Perbuatan mengolok-olok agama dan syi’ar-
syi’ar agama ini, bukan hanya muncul pada masa
sekarang; namun akarnya sudah ada sejak
dahulu. Banyak sekali bentuk-bentuk istihzaa'
yang dilakukan oleh orang-orang dahulu maupun
sekarang.
Diantaranya:
1) Dalam bentuk pelesetan-pelesetan yang
menghina agama.
Bisa dikatakan, Yahudilah yang menjadi pelopor
dalam membuat pelesetan-pelesetan yang isinya
menghina Allah, RasulNya dan Islam. Sikap
mereka ini telah disebutkan oleh Allah dalam
firmanNya.
ﻳَﺎﺃَﻳُّﻬَﺎ ﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﺀَﺍﻣَﻨُﻮﺍ ﻻَ ﺗَﻘُﻮﻟُﻮﺍ ﺭَﺍﻋِﻨَﺎ ﻭَﻗُﻮﻟُﻮﺍ ﺍﻧﻈُﺮْﻧَﺎ
ﻭَﺍﺳْﻤَﻌُﻮﺍ ﻭَﻟِﻠْﻜَﺎﻓِﺮِﻳﻦَ ﻋَﺬَﺍﺏٌ ﺃَﻟِﻴﻢٌ
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
katakan (Muhammad): "Raa'ina", tetapi
katakanlah: "Unzhurna", dan "dengarlah". Dan
bagi orang-orang yang kafir siksaan yang pedih.
[Al Baqarah:104].
Raa'ina, artinya sudilah kiranya kamu
memperhatikan kami. Dikala para sahabat
menggunakan kata-kata ini kepada Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam, orang-orang
Yahudipun memakainya pula, akan tetapi mereka
pelesetkan. Mereka katakan ru'unah, artinya
ketololan yang amat sangat. Ini sebagai ejekan
terhadap Rasulullah. Oleh karena itulah, Allah
menyuruh para sahabat agar menukar perkataan
raa'ina dengan unzhurna, yang juga sama artinya
dengan raa'ina.
Yahudi juga memelesetkan ucapan salam menjadi
as saamu 'alaikum, yang artinya (semoga
kematianlah atas kamu). Mereka tujukan ucapan
itu kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam.
Sebelumnya, hal sama sebenarnya telah mereka
lakukan terhadap Nabi Musa Alaihissallam. Allah
menceritakannya dalam KitabNya.
ﻭَﺇِﺫْ ﻗُﻠْﻨَﺎ ﺍﺩْﺧُﻠُﻮﺍ ﻫَﺬِﻩِ ﺍﻟْﻘَﺮْﻳَﺔَ ﻓَﻜُﻠُﻮﺍﻣِﻨْﻬَﺎ ﺣَﻴْﺚُ ﺷِﺌْﺘُﻢْ ﺭَﻏَﺪًﺍ
ﻭَﺍﺩْﺧُﻠُﻮﺍ ﺍﻟْﺒَﺎﺏَ ﺳُﺠَّﺪًﺍ ﻭَﻗُﻮﻟُﻮﺍ ﺣِﻄَّﺔٌ ﻧَّﻐْﻔِﺮْ ﻟَﻜُﻢْ ﺧَﻄَﺎﻳَﺎﻛُﻢْ
ﻭَﺳَﻨَﺰِﻳﺪُ ﺍﻟْﻤُﺤْﺴِﻨِﻴﻦَ . ﻓَﺒَﺪَّﻝَ ﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﻇَﻠَﻤُﻮﺍ ﻗَﻮْﻻً ﻏَﻴْﺮَ ﺍﻟَّﺬِﻱ
ﻗِﻴﻞَ ﻟَﻬُﻢْ ﻓَﺄَﻧﺰَﻟْﻨَﺎ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﻇَﻠَﻤُﻮﺍ ﺭِﺟْﺰًﺍ ﻣِّﻦَ ﺍﻟﺴَّﻤَﺂﺀِ ﺑِﻤَﺎ
ﻛَﺎﻧُﻮﺍ ﻳَﻔْﺴُﻘُﻮﻥَ
Dan (ingatlah), ketika Kami berfirman: "Masuklah
kamu ke negeri ini (Baitul Maqdis), dan makanlah
dari hasil buminya, yang banyak lagi enak dimana
yang kamu sukai, dan masukilah pintu
gerbangnya dengan bersujud, dan katakanlah:
"Bebaskanlah kami dari dosa", niscaya Kami
ampuni kesalahan-kesalahanmu. Dan kelak Kami
akan menambah (pemberian Kami) kepada orang-
orang yang berbuat baik. Lalu orang-orang yang
mengganti perintah dengan (mengerjakan) yang
tidak diperintahkan kepada mereka. Sebab itu
Kami timpakan atas orang-orang yang zhalim itu
siksaan dari langit, karena mereka berbuat fasik.
[Al Baqarah:58, 59].
Mereka disuruh mengucapkan hiththah, yang
artinya bebaskanlah kami dari dosa. Namun
mereka pelesetkan menjadi hinthah, yang artinya
beri kami gandum.
Memang, urusan peleset-memelesetan ini orang
Yahudi merupakan biangnya. Celakanya, sikap
seperti inilah yang ditiru oleh sebagian orang
jahil. Mereka menjadikan agama sebagai bahan
pelesetan. Seperti yang dilakukan oleh para
pelawak yang memelesetkan ayat-ayat Allah dan
syi’ar-syi’ar agama.
Sebagai contoh, memelesetkan firman Allah yang
berbunyi "laa taqrabuu zina" kemudian diartikan
“jangan berzina hari Rabu!” Bahkan sebagian
oknum itu, ada yang berani memelesetkan arti
firman Allah: Inna lillahi wa inna ilahi raji'un,
dengan arti “yang tidak berkepentingan dilarang
masuk!” dalam bentuk guyonan dan lawakan.
Kepada orang seperti ini, kita ucapakan inna
lillahi wa inna ilaihi raji'un.
Demikian pula, kita sering mendengar dari
sebagian orang yang memelesetkan lafadz azan.
Sebagai contoh ucapan "hayya 'alal falaah",
mereka pelesetkan menjadi "hayalan saja". Dan
masih banyak lagi bentuk-bentuk pelesetan, yang
hakikatnya adalah pelecehan dan istihzaa'
terhadap syi’ar-syi’ar agama. Hendaklah orang-
orang yang melakukannya segera bertaubat
dengan taubatan nasuha. Dan bagi para orang
tua, hendaklah mencegah dan melarang anak-
anaknya, apabila mendengar anak-anak mereka
melatahi pelesetan-pelesetan bernada pelecehan
tersebut. Hendaklah mereka ketahui, bahwa
perbuatan seperti itu merupakan perbuatan
Yahudi.
2) Dalam bentuk ejekan dan sindiran terhadap
syi’ar-syi’ar agama dan orang-orang yang
mengamalkannya.
Seringkali kita mendengar sebagian orang tak
bermoral mengejek wanita-wanita Muslimah yang
mengenakan busana Islami dengan bercadar dan
warna hitam-hitam dengan ejekan “ninja! ninja!
Atau seorang Muslim yang taat memelihara
jenggotnya dengan ejekan “kambing!” Atau
seorang Muslim yang berpakaian menurut Sunnah
tanpa isbal (tanpa menjulurkannya melebihi mata
kaki) dengan ejekan: “pakaian kebanjiran”. Sering
kita dapati di kantor-kantor, para pegawai yang
taat menjalankan syi’ar agama ini diejek oleh
rekan kerjanya yang jahil alias tolol. Sekarang ini
kaum muslimin yang taat menjaga identitas
keislamannya, seringkali dicap dan diejek dengan
sebutan teroris dan lain sebagainya. Yang sangat
memprihatinkan adalah para pelaku pelecehan
dan pengejekan itu adalah dari kalangan kaum
muslimin sendiri.
3) Dalam bentuk sindiran terhadap Islam dan
hukum-hukumnya.
Seperti orang yang mengejek hukum hudud dalam
Islam, semisal potong tangan dan rajam dengan
sebutan hukum barbar. Menyebut Islam sebagai
agama kolot dan terkebelakang. Menyebut syariat
thalak dan ta'addud zaujaat (poligami) sebagai
kezhaliman terhadap kaum wanita. Atau ucapan
bahwa Islam tidak cocok diterapkan pada zaman
modern. Dan ucapan-ucapan sejenisnya.
4) Dalam bentuk perbuatan dan bahasa tubuh
atau gambar.
Seperti isyarat, istihzaa' dalam bentuk karikatur
dan sejenisnya.
PENUTUP
Tulisan ini merupakan peringatan dan nasihat
kepada segenap kaum muslimin dari perbuatan
dosa besar yang dapat mengeluarkan pelakunya
dari Islam. Berapa banyak kita dapati bentuk-
bentuk penghinaan terhadap syi’ar-syi’ar agama,
pelesetan-pelesetan yang berisi sindiran terhadap
agama, karikatur-karikatur lelucon yang berisi
ejekan dan lain sebagainya. Khususnya banyak
kita dapati anak-anak kaum muslimin melatahi
bentuk-bentuk istihza' ini. Anehnya, para orang
tua diam saja melihatnya tanpa memperingatkan
atau memberi hukuman terhadap anak-anak
mereka. Sehingga istihzaa' ini menjadi hal yang
biasa di kalangan kaum muslimin, padahal
termasuk dosa besar. Na'udzubillah min dzalika.
Bagi siapa saja yang diserahkan mengurusi
urusan kaum muslimin, hendaklah cepat tanggap
mengambil tindakan terhadap setiap bentuk
pelecehan terhadap agama, apapun bentuknya.
Karena hal itu termasuk kejahatan yang harus
dibasmi, dan pelakunya berhak dihukum dengan
hukuman yang berat.

Ustadz. Abu Ihsan al-Maedani
Posted on 6/04/2014 08:05:00 am / 0 komentar / Read More

Hukum menyikat gigi saat berpuasa (bersiwak)


Siwak

Hukum menyikat gigi saat berpuasa - Berpuasa seringkali menyisakan bau mulut yang kurang nyaman bila tercium oleh orang lain. Meskipun demikian, dalam sebuah hadits telah disebutkan bahwa bau mulut orang yang berpuasa bagaikan wangi misk di sisi Allah. Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وَلَخُلُوفُ فِيهِ أَطْيَبُ عِنْدَ اللَّهِ مِنْ رِيحِ الْمِسْكِ

“Sungguh bau mulut orang yang berpuasa lebih harum di sisi Allah daripada bau minyak kasturi.”[1]

Untuk meminimalisir bau mulut, seringkali kita menyikat gigi dengan pasta gigi. Dalam kondisi berpuasa, apakah kita tetap boleh menyikat gigi dengan menggunakan pasta gigi? Apakah hal ini boleh disamakan dengan kebolehan bersiwak saat berpuasa? Mari kita kaji pembahasan ini bersama.

Hukum Bersiwak Saat Berpuasa

Syaikh Shalih al-Fauzan pernah ditanya tentang hukum bersiwak ketika sedang melakukan puasa Ramadhan. Beliau memaparkan, “Tidak diragukan lagi bahwa bersiwak merupakan ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang dianjurkan. Bersiwak memiliki keutamaan yang besar. Terdapat berbagai riwayat shahih yang menunjukkan dianjurkannya bersiwak, dapat kita lihat pada perbuatan maupun perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Oleh karena itu, sudah seharusnya kita mengamalkan ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ini. Hendaklah kita berusaha bersiwak, terlebih-lebih lagi pada saat diperlukan atau pada waktu yang disunnahkan untuk bersiwak, seperti sebelum berwudhu, ketika akan melaksanakan shalat, ketika hendak membaca al-Quran, ketika ingin menghilangkan bau mulut yang tak sedap, serta saat bangun tidur sebagaimana hal ini pernah dicontohkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Keadaan-keadaan tadi merupakan saat yang ditekankan untuk bersiwak. Dan asalnya, siwak itu disunnahkan di setiap waktu. Orang yang berpuasa pun dianjurkan untuk bersiwak sebagaimana orang yang tidak berpuasa. Pendapat yang tepat, bersiwak dibolehkan sepanjang waktu, dianjurkan untuk bersiwak di pagi hari maupun di sore hari.

Pendapat yang menyatakan tidak bolehnya bersiwak di sore hari sebenarnya bukan berasal dari sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Akan tetapi, yang tepat terdapat beberapa perkataan sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mengatakan,

رَأَيْتُ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- مَا لاَ أُحْصِى يَتَسَوَّكُ وَهُوَ صَائِمٌ

“Aku pernah melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersiwak beberapa kali hingga tidak dapat kuhitung banyaknya, meskipun saat itu beliau sedang berpuasa.”[2]

Oleh karena itu, bersiwak itu disunnahkan bagi orang yang berpuasa maupun yang tidak berpuasa. Namun dengan tetap menjaga agar jangan terlalu kasar (tergesa-gesa) ketika bersiwak karena bisa melukai mulut dan menyebabkan keluarnya darah, atau siwak bisa merusak sesuatu yang ada di mulut . Maka, wajib bagi orang yang terjadi semacam itu untuk mengeluarkan darah atau siwak tersebut dari mulutnya. Oleh karena itu, hendaklah seseorang bersiwak dengan perlahan-lahan.[3]

Jika Siwaknya Memiliki Rasa

Sebuah pertanyaan disampaikan kepada Syekh Abdullah bin ‘Abdurrahman al-Jibrin, “Apakah bersiwak dengan siwak yang memiliki rasa membatalkan puasa?”

Syaikh Abdullah bin ‘Abdurrahman al-Jibrin menyampaikan jawaban, “Bersiwak boleh dilakukan saat berpuasa, dan hukumnya disunnahkan di setiap waktu. Banyak ulama yang memakruhkan bersiwak bagi orang yang berpuasa setelah waktu zawal (tergelincirnya matahari ke barat). Mereka berpendapat demikian karena bersiwak menyebabkan hilangnya bau mulut yang baunya di sisi Allah bagaikan wangi misk.

Para ulama yang meneliti lebih jauh menguatkan pendapat bahwa bersiwak saat berpuasa tidaklah makruh, bahkan dianjurkan untuk bersiwak di pagi dan sore hari.
Adapun jika siwak tersebut memiliki rasa, maka wajib bagi orang yang bersiwak untuk membuang ludahnya ke tanah atau menyekanya dengan sapu tangan. Secara umum, sesungguhnya rasa itu hanya ada di kulit siwak dan tidak selamanya akan ada pada siwak tersebut. Adapun jika siwak tersebut berasa seperti rasa salah satu jenis sayuran atau yang semisalnya, dari segi bahwa rasanya dapat terkecap dengan ludah, maka wajib bagi orang yang bersiwak tersebut untuk memuntahkan air liurnya tadi, karena jika dia sengaja menelan sesuatu dan mengecap rasanya maka puasanya batal. Wallahu a’lam.[4]

Dari fatwa beliau tersebut, dapat dipahami bahwa alasan tidak bolehnya menggunakan siwak yang memiliki rasa saat berpuasa adalah karena rasa dari siwak tersebut bisa terkecap oleh ludah dan akhirnya tertelan masuk ke tenggorokan. Padahal, telah kita ketahui bersama bahwa menelan makanan dan minuman ke dalam kerongkongan dengan sengaja termasuk salah satu pembatal puasa.

Dalam kitab Haqiqatush Shiyam, pada Pasal “Hal-hal yang Membatalkan Puasa dan yang Tidak Membatalkan Puasa”, Syaihul Islam Ibnu Taimiyyah menyatakan, “Pembatal-pembatal puasa ada yang berdasarkan nash dan ijma’ (kesepakatan para ulama), yaitu: makan, minum, dan berjima’ (hubungan intim dengan istri). Allah Ta’ala berfirman,

فَالآنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُواْ مَا كَتَبَ اللّهُ لَكُمْ وَكُلُواْ وَاشْرَبُواْ حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّواْ الصِّيَامَ إِلَى الَّليْلِ

‘Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, serta makan dan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam (yaitu fajar). Kemudian, sempurnakanlah puasa itu sampai (datangnya) malam….’ (QS. Al-Baqarah: 187)

Ayat ini menunjukkan bahwa di saat tidak puasa diizinkan untuk berhubungan intim dengan istri. Maka bisa dipahami bahwa puasa haruslah menahan diri dari berhubungan intim dengan istri, makan dan minum.”[5]

Hukum Menggunakan Pasta Gigi Saat Berpuasa

Dalam hal ini, Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz ditanya, “Apakah seseorang yang berpuasa boleh menggunakan pasta gigi padahal dia sedang berpuasa di siang hari?”

Beliau menjawab, “Melakukan seperti itu tidaklah mengapa selama tetap menjaga sesuatu agar tidak tertelan di kerongkongan. Sebagaimana pula dibolehkan bersiwak bagi orang yang berpuasa baik di pagi hari atau sore harinya.” [6]

Pertanyaan yang serupa juga pernah disampaikan kepada Syaikh Muhammad bin Shalih al- Utsaimin, “Apa hukum menggunakan pasta gigi bagi orang yang berpuasa di siang hari bulan Ramadan?”

Beliau menjelaskan, “Penggunaan pasta gigi bagi orang yang sedang berpuasa tidaklah mengapa jika pasta gigi tersebut tidak sampai masuk ke dalam tubuhnya (tidak sampai ia telan, pen). Akan tetapi, yang lebih utama adalah tidak menggunakannya karena pada pasta gigi terdapat rasa yang begitu kuat yang bisa jadi masuk ke dalam perut seseorang tanpa dia sadari. Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada Laqith bin Shobroh,

بَالِغْ فِى الاِسْتِنْشَاقِ إِلاَّ أَنْ تَكُونَ صَائِمًا

“Bersungguh-sungguhlah dalam beristinsyaq (memasukkan air ke dalam hidung), kecuali bila engkau sedang berpuasa.”[7]

Dengan demikian, yang lebih utama bagi orang yang sedang berpuasa adalah tidak menggunakan pasta gigi. Waktu untuk menggunakan pasta gigi sebenarnya masih bisa di waktu lainnya. Jika orang yang berpuasa tersebut tidak menggunakan pasta gigi hingga waktu berbuka, maka berarti dia telah menjaga dirinya dari perkara yang dikhawatirkan merusak ibadah puasanya.”[8]

Kesimpulan

Bersiwak disunnahkan untuk dilakukan dalam keadaan apa pun, baik sedang berpuasa ataupun tidak.
Hukum menggunakan sikat gigi dianalogikan (diqiyaskan) dengan hukum menggunakan siwak.
Hukum menggunakan sikat gigi dengan pasta gigi dianalogikan (diqiyaskan) dengan hukum menggunakan siwak yang memiliki rasa.
Pada asalnya, hukum menggunakan sikat gigi dengan pasta gigi saat berpuasa adalah boleh. Namun untuk lebih berhati-hati dari tertelannya pasta gigi ke dalam kerongkongan, maka sebaiknya pasta gigi tidak digunakan ketika puasa, bisa ditunda setelah waktu berbuka tiba atau sebelum masuk waktu shubuh. Sebagai gantinya, ketika sedang berpuasa, sebaiknya menyikat gigi dilakukan tanpa memberikan pasta gigi pada sikat gigi. Wallahu a’lam.
Via Muslimah.or.id
Posted on 6/04/2014 08:04:00 am / 0 komentar / Read More
 
Copyright © 2011. Azūru . All Rights Reserved
Home | Company Info | Contact Us | Privacy policy | Term of use | Widget | Site map
Design by Herdiansyah . Published by Borneo Templates